Sabtu, 14 Maret 2015

SEKURA | HARTA BERHARGA BERUPA BUDAYA | WARISAN BUDAYA LAMPUNG

Sekura | Warisan Budaya Lampung | "Salah satu bentuk kebudayaan yang dihasilkan masyarakat Lampung adalah “Sekura”, yaitu pesta topeng yang dilaksanakan setiap idul Fitri oleh masyarakat Lampung Barat, khususnya di wilayah Skala Berak, Liwa Kabupaten Lampung Barat. Menurut penelitian yang dilakukan I Wayan Mustika, kata “Sekura” berasal dari kata “Sakukha” yang berarti penutup muka atau penutup wajah. Perubahan kata “sakukha” menjadi “sekura” lebih karena mengikuti perkembangan tata bahasa Indonesia secara umum, agar masyarakat lokal dan pendatang dapat dengan mudah mengucapkannya. "

Sekura merupakan jenis topeng yang digunakan dalam perhelatan pesta sekura. Seseorang dapat disebut ber-sekura ketika sebagian atau seluruh wajahnya tertutup. Penutup wajah dapat berupa topeng dari kayu, kacamata, kain, atau hanya polesan warna. Untuk menambah kemeriahan acara, sekura bisa dipadukan dengan berbagai busana dengan warna-warna meriah atau mencolok.

Pesta sekura merupakan perhelatan rutin yang diadakan oleh masyarakat Kabupaten Lampung Barat. Pesta rakyat ini selalu diadakan ketika menyambut Hari Raya Idul Fitri. Dalam acara ini, peserta acara diwajibkan mengenakan topeng dengan berbagai karakter dan ekspresi. Pesta sekura merupakan wujud ungkapan rasa syukur dan suka cita menyambut hari yang suci.

Seperti halnya nasib seni tradisi Lampung lainnya, sekuraan pun tidak luput dari ancaman kepunahan. Gerusan globalisasi dan modernisasi yang tidak tertahankan menghantam dan mengancam keberadaan seni tradisi, tak terkecuali sekuraan. Padahal sekuraan dalam tataran budaya daerah Lampung mempunyai arti yang cukup penting sebagai sarana bersilaturahmi dan juga menampilkan kebebasan berekspresi lewat topeng."



Sekura, Harta Berharga yang hampir terlupakan
Potongan Paragraf di atas saya peroleh dari google.com dengan kata kunci pengertian pesta sekuraan, saya tertarik membahas sekuraan lebih ke sarana silaturahmi. dan kali ini saya membahasnya melalui opini saya,

Sekuraan yang menggunakan topeng dan diadakan pada saat idul fitri, jelas berkaitan erat dengan silaturahmi. Bisa dibayangkan betapa indahnya kebersamaan dengan kerja sama dengan cara panjat pinang dan di akhiri dengan makan bersama tanpa melihat siapa dia? apa jabatanya dan berapa uangnya? sungguh indah bukan. Aku rasa dengan menggunakan topeng, kita tertawa bersama, bernyanyi bersama dan menari bersama tanpa rasa sungkan terhadap siapapun. luar biasa bukan. Melihat sekarang ini, idul fitri tak lagi meriah, bukan masalah esensi, tapi cara menyambutnya. Aku ingat kala umurku belum melebihi jumlah hari, dan tahunpun masih memiliki angka ganjil di angka pertama ke dua dan tiganya. Idul Fitri sangatlah meriah, bahkan sangat sangat meriah. Para Ibu di desaku berlomba mengeluarkan keahlianya membuat kue dan para Bapak dengan tenaganya menyediakan "kerapihan dan kebersihan rumah" ah luar biasa rindu aku melihat suasana itu. Kala Idul Fitri benar benar tiba, kami berpakaian terbaik yang kami punya, dan anak anak berlari membeli mainan di pasar desa. Wah luar biasa keindahan idul fitri, hingga seolah tertanam di alam bawah sadar, membeli pakaian baru dan mainan baru yang banyak hanya dapat dilakukan saat Idul Fitri. tidak seperti Idul Fitri ketika tahun telah memiliki angka ganjil di huruf ketiga namun angka genap di angka pertama dan kedua. bisa dibayangkan bagaimana perbedaan yang signifikan, masyarakat tak lagi seantusias dulu dalam menyambut Idul Fitri, mungkin menyambut Idul Fitri adalah kemasan. Namun kenapa negeri ini lebih memilih kemasan yang semakin buruk setiap tahunya dalam menyambut Idul Fitri ? bukankah itu hari yang suci dan akan begitu indah apabila di tambah dengan silaturahmi ? apakah ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan perusahaan yang memberikan libur kerja minimal hingga para orang tua tak bisa menyiapkan penyambutan untuk Idul Fitri? aku rasa iya. karena lihat saja saat ini, rumah ku dan hampir semua tetanggaku tak berlomba lomba mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam menyambut Idul Fitri. Lihat saja meja tamu mereka saat Idul Fitri, di dominasi kue kalengan atau kue kue toko?. Walau jenisnya sama, aku rasa rasanya berbeda. Sebab aku tak menemukan rasa pengorbanan demi memberikan rasa terbaik bagi tamunya. ya mungkin karena tujuang produsen kue kalengan dan produsen kue tokoan adalah uang. Entah lah

Selain itu, masalah libur kerja. Jelas tak memberikan waktu bagi para Ayah untuk membersihkan rumah dan menata kerapihan rumahnya lagi. Kerja pagi hingga sore sesuai kebijakan pemerintah hingga H-5 Idul Fitri, membuat para ayah lebih memikirkan bagaimana mencari uang tambahan ketimbang menyambut lebaran, mungkin saja andai pemerintah mewajibakan perusaan memberikan para pekerja libur dari H-10 hingga H+10 dan PNS di berikan libur yang sama kecuali perawat dan dokter. Mungkin akan berbeda ceritanya. Aku rasa memberikan 25hari libur hari raya (terserah di ambil kapan tergantung hari raya agama yg di anut masing masing pekerja) dari 365 hari kepada para pekerja dalam setahun tak akan membuat pengusaha rugi melihat apa yang sudah diberikan pengusaha kepada pekerja. Memang tanpa pengusaha yang memberikan gaji para pekerja tak memiliki pekerjaan, tapi tanpa pekerja para pengusaha tak akan mendapatkan uang. ya karena mana mungkin seorang dapat melakukan pekerjaan seribu orang dalam satu hari ?

Kembali ke sekura, fungsi sekura menurut saya adalah ajang silaturahmi penduduk satu desa karena dengan sekura masyarakat secara tidak langsung di wajibkan datang ke rumah adat/ balai desa. apabila ada kepentingan lain yang membuatnya tak dapat menghadiri sekura masyarakat tersebut wajib diberikan denda. Denda tersebut sebagai tambahan dalam sumbangan desa yang akan di pergunaan di dalam acara sekura. Lalu di buatlah semacam acara pertunjukan seni daerah dan juga modern, hal ini dimaksudkan untuk melestarikan dan juga mengenalkan budaya setempat kepada pendatang, dan juga sebagai hiburan agar cara tak membosankan. Kemudian acara panjat pinang, karena dengan gotong royong pinang ini dapat di panjat hingat puncak. Lalu di tutup dengan makan bersama satu desa dengan makanan yang sama dan tempat yang sama. Sungguh indah, loh kenapa dengan harus pake topeng ? selain menunjukan kebudayaan daerah, topeng yang berfungsi menutupi wajah dan membuatnya tak ada jabatan, tak ada kekuasaan, tak ada kekayaan. Semua sama saja, karena yang berlaku di masyarakat sesorang yang mempunyai jabatan, kekayaan akan di istimewakan sedangkan yang biasa atau tak punya biasanya akan tidak di perhitungkan bahkan di campakan. sebagai contoh : ketika ada acara di daerah mu, mau datang terlambat PASTI seorang lurah camat atau bupati pasti duduk di baris paling depan. begitu juga sebaliknya seseorang yang miskin dan tak memiliki jabatan meskipun datang paling awal dia tak akan boleh duduk di kursi paling depan. dengan sekura lah tak ada lagi jabatan tak ada lagi kekanyaan. yang adalah adalah kebersamaan bersama untuk kebahagiaan semua penduduk desa. indah sekali

Source Opinion and Story by :
Ibrahim Noor Faisal

Surce Photo :
http://travel.detik.com/read/2012/01/24/101800/1822294/1025/3/pesta-meriah-di-tepi-danau-ranau-lampung-barat





Tidak ada komentar:

Posting Komentar